Kereta api melaju dengan sangat kencang seirama dengan detakan jantung para pegawai kantoran yang baru pulang kerja. Pita sedang memandangi wajah seorang pria yang tertidur di depannya. Pita jelas mengenal pria itu, tapi entah pria itu mengenalnya atau tidak. Wajahnya lelah sampai-sampai dia tidak terganggu oleh tangisan balita yang duduk dipangku di sebelahnya. Kepalanya tersandar di kaca jendela kereta api. Terkadang kepalanya merosot kebawah. Tangannya dilipat di atas perutnya. Kakinya yang panjang menghalagi orang yang mau lewat di depannya. Pria itu sangat kurus sehingga tempatnya seakan bisa diduduki satu orang lagi yang ukuran badannya sama sepertinya.
Pita terus memandangi wajah itu. Dengan begini dia bisa meneliti setiap lekuk wajah Faris. Tak lama kemudian ada seorang pria paruh baya berdiri menghalangi pandangan Pita ke arah Faris. Rasanya Pita ingin menawarkan tempatnya untuk pria paruh baya itu supaya Pita bisa berdiri tepat di depan Faris.
Tak lama kemudian kaki Faris bergerak dan dia berdiri memberikan tempatnya untuk pria paruh baya itu. Pita menyebarkan pandangan ke seluruh penjuru gerbong kereta supaya tidak ketahuan sedang memperhatikan Faris. Rambut Faris berantakan dan matanya pun masih merah. Pita tidak punya nyali menatap langsung wajah Faris.
Dua puluh lima menit kemudian kereta berhenti di stasiun Bogor. Selama dua puluh lima menit itu pula Pita tidak berani melihat ke arah Faris. Semua penumpang terburu-buru ingin turun supaya tidak terlalu larut sampai di rumahnya. Pita masih tetap diam di tempatnya menunggu penumpang yang lain turun. Faris mengikuti arus orang-orang yang ingin langsung sampai di rumah.
Pita menuruni tangga kereta dan berjalan dengan pasti menuju keluar stasiun. Sesekali Pita memandang sekeliling berharap menangkap bayangan pria yang telah diamatinya di atas kereta api tadi. Langkahnya perlahan tapi pasti. Pita menaiki angkutan umum ngetem yang baru terisi setengahnya. Dia duduk di bangku paling ujung. Saat dia mengangkat kepalanya dan memandang ke depan, ini seperti posisi saat di atas kereta tadi. Ini mungkin memang suatu kebetulan, tapi tidak juga. Pita sudah pasti bisa memprediksi ini semua. Rumah mereka berdua, kan, satu komplek.
Faris tersenyum tipis ke arah Pita. Entah apa yang ada dipikiran Pita, dia hanya membalas senyuman tulus itu dengan senyuman seadanya. Senyuman tulus Faris pun perlahan lenyam ditelan udara dingin malam itu. Begitu pula dengan senyum seadanya milik Pita.
Komentar
Posting Komentar
hey hey.... mari ramaikan duniakuu