Aku berdiri bertolak pinggang, dengan tenang tapi tak sabaran. Orang-orang berseragam serba putih dengan topi ala koki hilir mudik bercengkrama dengan loyang-loyang berisi adonan kue. Aku masih terus bertolak pinggang sambil sesekali melirik jam tangan. Aku menunggunya dari luar dapur sibuk itu. Tak kalah sibuknya para pengunjung yang kebanyakan ibu-ibu.
Bosan. Aku menunggu di luar toko. Sambil menatap langit yang segera mengharu biru. Suara pintu toko yang dibuka-tutup hasil kerjaan para pelanggan membuat telingaku beradaptasi. Selembar kertas dalam amplop sedang ada di genggamanku. Ingin rasanya waktu berhenti sampai di sini. Tapi kenyataanya, jam ditanganku masih terus berotasi pada suatu titik kegalauan.
Rinai hujan berlomba-lomba untuk sampai ke bumi. Rinai air mataku pun serasa ingin berlomba membasahi pipi. Tapi tidak. Tidak akan aku biarkan air mata mana pun untuk membasahi pipiku.
Pintu toko dibuka dan kali ini bukan pelanggan yang membawa bungkusan kue.
“Maaf ya lama. Nah sekarang kamu mau bilang apa?” tanyanya sambil menyodorkan cupcake buatannya.
Aku memberikan amplop itu kepadanya dan memakan cupcake buatannya. Dia membacanya dengan seksama dan sedikit tidak mengerti. Atau mengerti tapi tak percaya. Aku tidak tahu. Tanggung jawab! Seruku lirih dalam hati.
Dia terdiam dan tak berkata apa-apa. Dia hanya diam dan setelah itu dia masuk lagi ke dalam tanpa kata. Air mataku pecah. Sekarang, aku rasa waktu telah benar-benar berhenti. Berhenti tepat di titik kegalauanku. Aku beranjak pergi sambil mengusap-usap air mataku sendiri. Menyusuri trotoar jalan berteman hujan.
suara kendaraan hilir mudik persis seperti suasana di dapur tadi membuatku terus terjaga pada kenyataan ini. Tapi kemudian, aku merasa ada seseorang d belakangku. Dia berlari dari kejauhan dan menyuruhku berhenti.
Mulai sekarang jangan pernah jalan sendiri. Aku antarkan pulang.
Komentar
Posting Komentar
hey hey.... mari ramaikan duniakuu